Jumat, 24 Juni 2011

PEMANFA’ATAN BARANG ‘ARIYAH DALAM PERSPEKTIF MADZAHIB AL-ARBA’AH

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Banyak dikalangan masyarakat mempunyai kebutuhan-kebutuhan yang harus dipenuhi diantaranya baik kebutuhan yang bersifat primer (pokok), sekunder (tambahan) dan tersier (sampingan); dengan artian ada kebutuhan yang wajib mereka utamakan seperti kebutuhan sandang, papan dan pangan. Ada juga kebutuhan sekunder (tambahan) yang sifatnya sunnah seperti kebutuhan akan perabotan rumah tangga dan juga kebutuhan sampingan seperti mobil, kulkas, rumah mewah dan lain sebagainya.
Berangkat dari adanya kebutuhan diatas, agama Islam sebagai agama yang rahmatan li al-’alamiin telah banyak memberikan solusi terhadap problematika yang dialami umatnya baik melalui Al-Qur’an dan Al-Hadis; sebagai pegangan utama maupun Ijma’ dan Qiyas yang telah disepakati oleh kalangan ulama.
Di antaranya adalah norma/norma yang mengatur tentang masalah mu’amalah. Lebih spesifiknya hal yang terkait dengan masalah ‘ariyah yang merupakan solusi terbaik dalam memecahkan masalah jika kita tidak mempunyai benda/barang yang menjadi kebutuhan kita, terutama kebutuhan yang bersifat primer yang pemenuhannya sangat mendesak.
Sebagaimana anjuran Allah SWT, dengan firmannya,
وتعاونوا على البر والتقوى ولاتعاونوا على الاثم والعدوان (المائدة. 2)
”Dan tolong-menolonglah kamu untuk berbuat kebaikan dan taqwa dan janganlah kamu tolong-menolong untuk berbuat dosa dan permusuhan” (Al-Maidah:2)
Akan tetapi banyak orang kadang menyalah artikan subtansi yang terkandung pada ayat diatas, yang mana tujuan akhirnya hanya untuk memenuhi kebutuhannya saja tanpa memikirkan yang lain. Karena ayat diatas mengidentifikasikan tentang mempererat jalinan silaturrahim/hubungan dengan sesama manusia untuk memudahkan kita menjalin hubungan dengan Allah SWT (حبل من الله).
Oleh karena itu, dalam pembahasan makalah ini, penulis menguraikan dengan secara jelas tentang aqad ’ariyah yang pembahasannya kami kerucutkan untuk mengetahui barang apa saja yang bisa di’ariyahkan, prosedurnya menurut perspektif madzahib al-arba’ah dan yang terakhir adalah hal-hal yang menjadi tanggungan mu’ir ketika menyalahi prosedur yang telah disepakati oleh kalangan ulama terutama ulama madzahib al-arba’ah.
B. Rumusan Masalah
Berangkat dari latar belakang diatas, maka rumusan masalah dalam makalah ini sebagaimana berikut:
1. Bagaimanakah mekanisme pemanfa’atan barang ’ariyah menurut perspektif madzahib al-arba’ah?
2. Hal apakah yang akan terjadi bila musta’ir menyalahi mekanisme pemanfa’atan barang ’ariyah?
C. Tujuan Penulisan
Berdasarkan rumusan masalah dan latar belakang yang telah dideskripsikan di atas,maka penulaisan makalah ini bertujuan sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui mekanisme pemanfa’atan barang ‘ariyah menurut perspektif madzahib al-arba’ah.
2. Untuk mengetahui hal-hal yang dilakukan mu’ir jika menyalahi mekanisme dalam pemanfa’atan barang ’ariyah.
D. Metode Penulisan
Metode penulisan yang di gunakan dalam makalah ini penulis menggunakan bebera metode diantaranya:
1. Deduktif, menarik kesimpulan dari pernyataan umum menuju pernyataan khusus;
2. Dialektis, mengemukakan dua atau lebih teori atau madzhab lain yang berlawanan dan dirumuskan menjadi suatu kesimpulan;
3. Analogis, pembahasan dengan jalan mengqiyaskan pada dalil yang sudah ada.
E. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan makalah ini dibagi menjadi tiga bab, yang masing-masing bab memiliki jangkauan yang berbeda sesuai dengan tuntutan penulisan sub makalah.
BAB I
PENDAHULUAN : Memberikan diskripsi masalah yang hendak dibahas secara menyeluruh mencakup, latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penulisan, metode penulisan dan sistematika penulisan.
BAB II
PEMBAHASAN : Menguraikan tenteng devinisi ‘ariyah, dasar-dasar hukum ‘ariyah baik Al-Qur’an maupun Al-Hadits, rukun dan syarat ‘ariyah, tatacara pelaksanaan ‘ariyah, Fonomena-fonomena yang muncul di masyarakat, analisa penulis mengenai permasalahan-permasahan yang sedang dibahas terkait dengan ‘ariyah
BAB III
PENUTUP : Berisi tentang kesimpulan dan saran-saran yang dipandang perlu sebagai pertimbangan bagi mu’ar dan musta’ar khususnya dalam menyikapi problematika dalam akad ‘ariyah.

BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
1. Pinjam Meminjam (‘ariyah)
Menurut etimologi ‘ariyah ialah (العارية) diambil dari kata (عار) yang berarti datang dan pergi. Menurut sebagian pendapat, ‘ariyah berasal dari kata (التعاور) yang sama artinya dengan (التداول او التناوب) (saling menukar dan mengganti), yakni dalam tradisi pinjam-meminjam.
Sedang menurut terminologi, ‘ariyah ada beberapa pendapat:
a. Menurut Hanafiyah, ‘ariyah adalah:
تمليك المنافع مجانا
"Memilikkan manfaat secara cuma-cuma"
b. Menurut Malikiyah, ‘ariyah adalah:
تمليك منفعة مؤقتة لا بعوض
"Memilikkan manfaat dalam waktu tertentu dengan tanpa imbalan.”
c. Menurut Syafi'iyah, ‘ariyah adalah:
إباحة الانتفاع من شخص فيه اهلية التبرع بما يحن الانتفاع به مع بقاء عينه ليرده على المتبرع
“Kebolehan mengambil manfaat dari seseorang yang membebaskannya, apa yang mungkin untuk dimanfaatkan, serta tetap dzat barangnya supaya dapat dikembalikan kepada pemiliknya.”

d. Menurut Hanabila, ‘ariyah adalah:
اباحة نفع العين بغير عوض من المستعر أو غيره
“Kebolehan memanfaatkan suatu dzat barang tanpa imbalan dari peminjam atau yang lainnya.”
e. Ibnu Rif'ah berpendapat bahwa yang dimaksud dengan ‘ariyah ialah:
إباحة الانتفاع بما يحل الإنتفاع به مع بقاء عينه ليرده
“Kebolehan mengambil manfaat suatu barang dengan halal serta tetap dzatnya supaya dapat dikembalikan.”
f. Menurut al-Mawardi, yang dimaksud ‘ariyah adalah:
هبة المنافع
“Memberikan manfaat-manfaat.”
g. ‘Ariyah adalah kebolehan mengambil manfa'at barang-barang yang diberikan oleh pemiliknya pada orang lain tanpa ganti.
Berdasarkan beberapa definisi yang dikemukan oleh beberapa ahli Fiqih di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa yang dimaksud '‘‘ariyah adalah memberikan manfa'at suatu barang dari seseorang kepada orang lain secara cuma-cuma (gratis) dan dzat barang yang dipinjamkan harus tetap (Baqa’). Dengan artian bahwa setiap benda/barang yang bias diambil kemanfa’atannya maka bias dipinjam tanpa adanya imbalan ketika mengembalikannya dan juga benda/barang tersebut merupakan benda yang tetap seperti meminjamkan baju, buku, sepeda motor dan lain sebagainya.
B. Hukum (Ketetapan) Akad ‘Ariyah
1. Pinjam Meminjam (‘ariyah)
Para ulama’ fiqh berbeda pendapat dalam hukum asal akad al- ‘ariyah. Apakah bersifat pemilikan terhadap manfaaat apakah sekedar kebolehan memanfaatkannya. Ulama’ Hanafiyah dan Malikiyah mengatakan bahwa al-‘ariyah menyebabkan peminjam ”memiliki manfaat” barang yag dipinjam. Peminjaman itu dilakukan secara sukarela, tanpa imbalan dari pihak peminjam. Oleh sebab itu, pihak peminjam berhak untuk meminjamkan barang itu kepada orang lain untuk dimanfaatkan, karena manfaat barang itu telah menjadi miliknya, kecuali apabila pemilik barang membatasi pemanfaatannya bagi peminjam saja atau pemilik barang itu melarang peminjam untuk meminjamkannya kepada orang lain.
Akan tetapi, ulama’ Syafiiyah, Hanabilah, dan Abu Al-Hasan Al-Karkhi (260-340H /870-952M), pakar fiqh Hanafi berpendapat bahwa akad al-ariyah itu hanya bersifat kebolehan memanfaatkan benda itu. Oleh sebab itu, pemanfaatannya hanya terbatas bagi pihak peminjam dan ia tidak boleh meminjamkannya kepada orang lain. Namun demikian, seluruh ulama’ fiqh sepakat menyatakan bahwa pihak peminjam tidak boleh menyewakannya kepada orang lain.
2. ‘Ariyah Menurut Urf
Menurut kebiasaan ('urf), ‘ariyah dapat diartikan dengan dua cara, yaitu secara hakikat dan majazi
a. Secara hakikat
‘Ariyah adalah meminjamkan barang yang dapat diambil manfaatnya tanpa merusak dzatnya. Menurut Malikiyah dan Hanafiyah, hukumnya adalah manfaat bagi peminjam tanpa ada pengganti apapun atau peminjam memiliki sesuatu yang memaksa dengan manfaat menurut kebiasaan.
Al-Kurkhi, ulama' Syafi'iyah, dan Hanabilah berpendapat bahwa yang dimaksud ‘ariyah adalah kebolehan untuk mengambil suatu manfaat dari suatu benda.
Dari perbedaan pandangan diatas dapat ditetapkan bahwa menurut golongan pertama, barang yang dipinjam (musta'ar) boleh dipinjam oleh orang lain, bahkan menurut imam Malik, sekalipun tidak diizinkan oleh pemiliknya asalkan digunakan sesuai dengan fungsinya. Akan tetapi, ulama' Malikiyah melarangnya jika peminjam tidak mengizinkannya.
Alasan ulama' Hanafiyah antara lain bahwa memberi pinjaman (mu'ir) telah memberikan hak penguasaan barang telah memberikan hak penguasaan barang kepada peminjam untuk mengambil manfaat barang. Kekuasaan seperti itu berarti kepemilikan. Dengan demikian peminjam berkuasa penuh untuk mengambil manfaat dalam tersebut, baik dari dirinya maupun orang lain.
Menurut golongan yang kedua, pinjam meminjam hanya sebagai pengambilan manfaat maka tidak boleh dipinjamkan kembali pada orang lain, sebagai halnya seorang tamu yang tidak boleh meminjamkan makanan yang dihidangkan untuknya kepada orang lain.
Golongan yang pertama dan kedua sepakat bahwa peminjam tidak memiliki hak kepemilikan sebagaimana gadai barang. Menurut golongan kedua peminjam hanya berhak memanfaatkannya saja dan ia tidak memiliki bendanya. Adapun menurut golongan pertama gadai adalah akad yang lazim (resmi), sedangkan ‘ariyah adalah akad tabarru' (derma) yang dibolehkan, tetapi tidak lazim. Dengan demikian, peminjam tidak memiliki hak kepemilikan, sebagaimana akad lazim sebab hal itu akan mengubah tabi'at ‘ariyah. Selain itu peminjampun tidak boleh menyewakannya.

b. Secara majazi
‘Ariyah secara majazi adalah pinjam meminjam benda yang berkaitan dengan takaran, timbangan, hitungan, dan lain-lain, seperti telur, uang, dan segala benda yang dapat diambil manfaatnya tanpa merusak dzatnya. ‘Ariyah pada benda-benda tersebut harus diganti dengan benda yang serupa atau senilai. Dengan demikian, walaupun termasuk ‘ariyah, tetapi merupakan ‘ariyah secara majazi, sebab tidak mungkin dapat dimanfaatkan tanpa merusaknya. Oleh karena itu, sama saja antara memiliki kemanfaatan dan kebolehan untuk memanfaatkannya.
C. Rukun dan Syarat
1. Pinjam Meminjam (‘ariyah)
a. Rukun ‘ariyah
1) Menurut Hanafiyah, rukun ‘ariyah adalah satu, yaitu ijab dan qobul tidak wajib diucapkan, tetapi cukup dengan menyerahkan pemilik kepada peminjam barang yang dipinjam dan boleh hukumnya dengan ijab qobul dengan ucapan.
2) Menurut Syafi'iyah, rukun ‘ariyah adalah adanya sighot akad, yakni ucapan ijab dan qobul dari peminjam dan yang meminjamkan barang pada waktu transaksi sebab memanfa’atkan milik barang tergantung pada adanya izin.
3) Secara umum, jumhur ulama fiqh menyatakan bahwa rukun ‘ariyah ada empat, yaitu:
a) Mu’ir (peminjam);
b) Musta’ir (yang meminjamkan);
c) Mu’ar (barang yang dipinjam);
d) Shighat, yakni sesuatu yang menunjukkan kebolehan untuk mengambil manfa’at, baik dengan ucapan maupun perbuatan.
b. Syarat ‘ariyah,
Ulama' fiqh mensyarakatkan dalam akad ‘‘ariyah sebagai berikut:
1) Mu'ir berakal sehat
Dengan demikian orang gila dengan anak kecil yang tidak berakal tidak dapat meminjamkan barang. Ulama' hanafiyah tidak mensyaratkan sudah baligh, sedangkan ulama' lainnya menambahkan bahwa yang berhak meminjamkan adalah orang yang dapat berbuat kebaikan sekehendaknya, tanpa dipaksa, bukan anak kecil, bukan orang bodoh, dan bukan orang yang sedang pailit (bangkrut).
2) Pemegang barang oleh peminjam
‘Ariyah adalah transaksi dalam berbuat kebaikan,yang dianggap sah mmemegang barang adalah peminjam,seperti halnya dalam hibah.
D. Ihwal ‘Ariyah, apakah tanggungan atau amanah?
Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa barang pinjaman itu merupakan amanat bagi peminjam, baik dipakai maupun tidak. Dengan demikian, dia tidak menanggung barang tersebut jika terjadi kerusakan, seperti juga dalam sewa-menyewa atau barang titipan, kecuali bila kerusakan tersebut disengaja atau disebabkan kelalaian.
Ulama Malikiyah berpendapat bahwa peminjam harus menanggung barang yang tidak ada padanya, yakni yang dapat disembunyikan seperti baju. Dia tidak harus menanggung sesuatu yang tidak dapat disembunyikan, seperti hewan atau barang yang jelas dalam hal kerusakannya. Mereka beralasan dengan mengumpulkan (al-jam) dan menyelaraskan (al-taufiq) antara dua hadis:
1. Hadis yang berkenaan dengan pernyataan Nabi SAW. kepada Shafwan Ibn Umayah bahwa ’ariyah adalah tanggungan yang dikembalikan, atau dalam riwayat lain Nabi SAW. menyatakan bahwa ’ariyah adalah barang yang harus dikembalikan.
2. hadis yang menyatakan bahwa peminjam yang tidak berkhianat dan tidak bertanggung jawab, begitu pula bagi orang yang dititipi barang, jika tidak berkhianat, tidaklah bertanggung jawab. Hadis yang menyatakan bahwa peminjam bertanggung jawab mengaitkannya dengan barang yang hilang, sedangkan hadis yang menyatakan bahwa peminjam tidak bertanggung jawab, mengaitkannya dengan barang yang tidak hilang. Pendapat ini hampir sama dengan pendapat Hanafiyah diatas bahwa ’ariyah adalah amanat.
Yang benar menurut kalangan syafi’iyah, peminjam menanggung harga barang bila terjadi kerusakan dan bila ia menggunakannya tidak sesuai dengan izin yang diberikan pemilik walaupun tanpa disengaja. Hal ini didasarkan pada hadis Shafwan di atas. Adapun jika barang tersebut digunakan sesuai dengan izin pemilik, peminjam tidak menanggungnya ketika terjadi kerusakan.
Ulama Hanabilah berpendapat bahwa peminjam menanggung kerusakan barang pinjamannya secara mutlak, baik disengaja maupun tidak. Golongan ini mendasarkan pendapat mereka pada hadis dari Shafwan ibn Umayyah diatas.
E. Fenomena Dimasyarakat
Meminjam termasuk hal yang sangat sepele dalam persepsi orang awam akan tetapi dalam persepsi orang yang tahu akan norma-norma/undang-undang dalam hokum Islam termasuk hal yang sangat signifikan sekali pengaruhnya dalam kehidupan kita.
Karena jika meminjam tidak sesuai dengan koridor-koridor yang berlaku dalam hokum syariat akan mempunyai dampak bagi si peminjam baik di dunia seperti dibenci oleh manusia maupun di akhirat yang berupa pertanggung jawaban kita kepada Allah SWT.
Dalam hal ini terkait tentang masalah pemanfa’atan barang ’ariyah yang dilakukan oleh mu’ir, apakah setiap benda/barang bisa diambil kemanfa’atannya?. Karena sudah mentradisi dikalangan kita akan banyaknya orang yang meminjam akan tetapi mereka tidak memahami tentang ‘ariyah itu sendiri, meliputi pengertian, syarat dan rukun, kewajiban bagi musta’ar dan hal-hal lain yang menjadi tanggungannya. Bukan hanya asal meminjam tanpa kita menghiraukan konsekuensi dari peminjaman yang menjadi tanggungan kita.
Berlandaskan hadis Nabi Muhammad SAW, yang berbunyi:
على اليد ما أخذت حتى يؤديه) أخرجه أحمد وأصحاب السنن الأربعة)
Artinya:
“Tangan (yang mengambil) adalah yang bertanggung jawab atas apa yang diambilnya sehingga dipenuhi.”
Contoh konkritnya ialah ketika seseorang meminjam sesuatu kepada musta’ir, sedangkan mu’ir belum sempat menggunakan barang tersebut. Mungkin karena faktor lupa atau ada kepentingan yang mendesak yang mengharuskannya pergi jauh. Kemudian barang yang dipinjam oleh mu’ir tersebut mengalami kerusakan dan dia tidak mau menggantinya karena beberapa alasan diatas.
F. Analisa
Setelah mengamati secara seksama terkait dengan pembahasan diatas sesuai dengan rumusan yang ada maka kami lebih cenderung kepada ulama yang mengatakan bahwa ‘ariyah adalah kebolehan mengambil kemanfa’atan dari suatu benda yang dzatiyah benda tersebut tetap/kekal yang memungkinkan kepada si peminjam (mu’ir) mengembalikan benda tersebut kepada yang meminjamkan (musta’ir) seperti semula tanpa adanya unsure imbalan.
Selain itu ada batasan/batasan yang harus diperhatikan oleh mu’ir terhadap benda yang dipinjam sesuai dengan izin/mandate yang dia peroleh musta’ir sebagai orang yang mempunyai hati besar meminjamkan barangnya demi kemaslahatan orang lain. Dan amanat itu wajib dijaga selama barang itu dalam tanggungan mu’ir.
Akan tetapi untuk masalah adanya pemanfa’atan yang disalah gunakan oleh mu’ir penulis lebih sependapat dengan pendapatnya Imam Syafi’I dan Hambali tentang dua hal, yaitu:
1. Peminjam menanggung harga barang bila terjadi kerusakan dan bila ia menggunakannya tidak sesuai dengan izin yang diberikan pemilik walaupun tanpa disengaja.
2. Barang pinjaman itu merupakan amanat bagi peminjam, baik dipakai maupun tidak. Dengan demikian, dia tidak menanggung barang tersebut jika terjadi kerusakan.


BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Setelah mengkaji secara seksama landasan teori yang telah penulis sajikan dalam pembahasan diatas, maka dapat disimpulkan tentang beberapa hal terkait tentang kajian tersebut, diantaranya:
1. Ulama’ Hanafiyah dan Malikiyah mengatakan bahwa al-‘ariyah menyebabkan peminjam ”memiliki manfaat” barang yag dipinjam. Peminjaman itu dilakukan secara sukarela, tanpa imbalan dari pihak peminjam. Oleh sebab itu, pihak peminjam berhak untuk meminjamkan barang itu kepada orang lain untuk dimanfaatkan, karena manfaat barang itu telah menjadi miliknya, kecuali apabila pemilik barang membatasi pemanfaatannya bagi peminjam saja atau pemilik barang itu melarang peminjam untuk meminjamkannya kepada orang lain. Akan tetapi, ulama’ Syafiiyah, Hanabilah, dan Abu Al-Hasan Al-Karkhi (260-340H /870-952M), pakar fiqh Hanafi berpendapat bahwa akad al-ariyah itu hanya bersifat kebolehan memanfaatkan benda itu. Oleh sebab itu, pemanfaatannya hanya terbatas bagi pihak peminjam dan ia tidak boleh meminjamkannya kepada orang lain.
2. Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa barang pinjaman itu merupakan amanat bagi peminjam, baik dipakai maupun tidak. Dengan demikian, dia tidak menanggung barang tersebut jika terjadi kerusakan; Ulama Malikiyah berpendapat bahwa peminjam harus menanggung barang yang tidak ada padanya, yakni yang dapat disembunyikan seperti baju. Dia tidak harus menanggung sesuatu yang tidak dapat disembunyikan, seperti hewan atau barang yang jelas dalam hal kerusakannya; Menurut kalangan syafi’iyah, peminjam menanggung harga barang bila terjadi kerusakan dan bila ia menggunakannya tidak sesuai dengan izin yang diberikan pemilik walaupun tanpa disengaja; Ulama Hanabilah berpendapat bahwa peminjam menanggung kerusakan barang pinjamannya secara mutlak, baik disengaja maupun tidak.
B. Saran
1. Sebagai seorang hamba yang budiman hendaknya ketika kita hendak melakukan transaksi aqad ‘ariyah (pinjam-meminjam) harus didasari hati yang tulus dan berharap transaksi/aqad yang kita lakukan bersamaan dengan ridha Allah SWT.
2. Sebagai orang yang berkepentingan terhadap aqad ‘ariyah, hendaknya mu’ir harus mempunyai rasa tanggung jawab yang tinggi terhadap barang yang dipinjam dan harus siap menanggung konsekuensi hokum yang berlaku kepadanya ketika barang tersebut mengalami kerusakan/factor yang menyebabkan nilai benda tersebut berkurang tidak seperti semula ketika kita meminjamnya.
3. Sedangkan musta’ir sebagai pemilik yang sempurna juga harus mempunyai kerelaan untuk meminjamkan barangnya kepada orang yang membutuhkannya. Jangan sampai menggunakan hak kepemilikannya untuk memperoleh keuntungan yang sebesar-besarnya diatas penderitan saudara-saudara kita sesamamuslimnya.


DAFTAR PUSTAKA
Al-Kasani, Al-Bada’i wa Sana’i fi Tartib As-Shara’i, (Beirut: Dar Kitab Al-Arabi), Juz VI.
Abd Al-Rahman Al-Jaziri, Al-Fiqh ‘Ala Madzahib Al-Arba’ah, (Beirut: Dar al-Qalam, 1969)
H. Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2007)
Rachmat Syafei, Fiqh Muamalah, (Bandung: Pustaka Setia, 2001)
Wahbah Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islam Wa Adillatuhu, (Dimsyiq: Daaru Al-Fikr, 2004 M/1425 H)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar